Posted by : Muhammad Hamzah
Jumat, 31 Januari 2014
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Agus
Martowardojo memaparkan sejumlah alasan mengapa harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi harus naik. "Salah satunya karena ada lonjakkan konsumsi,"
kata dia dalam rapat kerja pembahasan subsidi energi antara pemerintah dan
Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 26 Maret 2012.
Lonjakan konsumsi, menurut Agus, diketahui setelah pemerintah menghitung volume
penggunaan BBM bersubsidi pada Januari hingga Februari 2012. Dalam rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, volume konsumsi dipatok sebesar 40
juta kiloliter. Namun data empirik penggunaan BBM sepanjang Januari hingga
Februari 2012 mencapai 47,8 juta kiloliter. "Terjadi lonjakan sebesar 18
persen," ujarnya.
Agus mengatakan lonjakan konsumsi ini disebabkan harga BBM bersubsidi di
Indonesia yang terbilang murah. Menurut dia, ketimpangan (disparitas) harga itu
perlu dikoreksi. Murahnya harga BBM pun mengakibatkan banyaknya penimbunan dan
penyelundupan. "Inilah yang membuat konsumsi melonjak. Masyarakat yang
mampu beli BBM nonsubsidi pun tergiur menggunakannya karena selisih harga yang
amat jauh," katanya.
Untuk menekan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi, Agus menekankan perlunya
kenaikan harga. Jika hal ini tak dilakukan maka cadangan risiko volume konsumsi
BBM bisa mencapai Rp 24,6 triliun. Jika angka ini ditambah subsidi BBM sebesar
Rp 178 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23
triliun, maka total beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 290,6
triliun, 20 persen dari anggaran negara.
Ongkos subsidi ini bahkan lebih besar dibanding belanja infrastruktur yang
mencapai Rp 160 triliun. "Anggaran subsidi itu terlampau besar, apalagi konsumennya
mayoritas bukan masyarakat yang pantas disubsidi," ujarnya.
Namun anggota Badan Anggaran dari Partai Golkar, Satya W. Yudha, menilai
selisih penggunaan BBM bersubsidi sebesar 7,8 juta kiloliter itu hanya
ketakutan pemerintah. "Harusnya jika pemerintah melakukan fungsi kontrol
dan pengawasan dengan baik, selisihnya tak sebesar itu," katanya.
Kritik:
Kenaikan BBM, dikatakan menambah beban APBN karena mengalami
kelonjakan yang cukup signifikan. Hal ini memang terjadi karena banyak konsumen
yang tergiur akan harga yang murah, sehingga melebihi dari batas RAPBN yang
membatasi hanya 40 juta kiloliter. Memang beban subsidi yang akan ditanggung
negara akan lebih besar dari RAPBN, namun itu hanya mencapai 20 persen dari
anggaran negara yakni sekitar Rp 290,6 triliun. Bila dibandingkan dengan uang hasil
korupsi, ini tidak ada apa-apanya. Belum lagi hutang Indonesia yang mencapai
300 triliun. Jika alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah untuk
meringankan beban APBN, ini jelas tidak manusiawi karena dia berani
mengorbankan rakyatnya demi meringankan beban dirinya. Apakah seperti ini
seharusnya pemerintah bertindak? Tentu tidak kan?
Ditambah lagi dengan pertanyaan kenapa subsidi harus dikurangi?
padahal kita memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun kita tidak tahu kemana
perginya semua kekayaan tersebut, hal ini karena pemerintahan yang bersistem
kapitalis, pemerintah sama-sama ingin memiliki untung dari hasil penjualan
minyak mentah, namun setelah mereka mengolah minyak mentah tersebut, mereka
menjual kembali ke Indonesia dengan harga yang jauh di atas harga pembeliannya.
Beginilah gambaran singkat pemerintahan di Indonesia.
Dalam Islam, pemerintah adalah yang paling bertanggung jawab atas
nasib rakyatnya, apakah rakyatnya sengsara atau tidak, inilah sifat yang
seharusnya dimiliki pemerintah. Bukannya mengorbankan rakyat untuk
kepentingannya sendiri. Bagaimana bila ada rakyat yang mati kelaparan karena
tidak mampu membeli makan disebabkan melonjaknya harga sembako seiring naiknya
harga BBM, tentu pemerintah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka dari itu, pemerintah tidak seharusnya membebani rakyatnya seperti
itu, karena dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Solusinya
adalah menerapkan hukum-hukum Allah yang jelas Maha Adil, yaitu syari’ah dan
menegakkan khilafah, itulah yang akan menyelamatkan kita di akhirat kelak.
Wallahu ‘alam bisshawab—
(M. Hamzah Shalahuddin)
(Tito Naufal Ghiffari)